ORGANISASI POLITIK
1. Pengertian
Organisasi
politik adalah organisasi atau kelompok yang bergerak atau
berkepentingan atau terlibat dalam proses politik dan dalam ilmu
kenegaraan, secara aktif berperan dalam menentukan nasib bangsa
tersebut.
Organisasi politik dapat mencakup berbagai jenis organisasi seperti kelompok advokasi yang melobi perubahan kepada politisi, lembaga think tank yang mengajukan alternatif kebijakan, partai politik yang mengajukan kandidat pada pemilihan umum, dan kelompok teroris yang menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan politiknya. Dalam pengertian yang lebih luas, suatu organisasi politik dapat pula dianggap sebagai suatu sistem politik jika memiliki sistem pemerintahan yang lengkap.
Organisasi politik merupakan bagian dari suatu kesatuan yang berkepentingan dalam pembentukan tatanan sosial pada suatu wilayah tertentu oleh pemerintahan yang sah. Organisasi ini juga dapat menciptakan suatu bentuk struktur untuk diikuti.
Organisasi politik dapat mencakup berbagai jenis organisasi seperti kelompok advokasi yang melobi perubahan kepada politisi, lembaga think tank yang mengajukan alternatif kebijakan, partai politik yang mengajukan kandidat pada pemilihan umum, dan kelompok teroris yang menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan politiknya. Dalam pengertian yang lebih luas, suatu organisasi politik dapat pula dianggap sebagai suatu sistem politik jika memiliki sistem pemerintahan yang lengkap.
Organisasi politik merupakan bagian dari suatu kesatuan yang berkepentingan dalam pembentukan tatanan sosial pada suatu wilayah tertentu oleh pemerintahan yang sah. Organisasi ini juga dapat menciptakan suatu bentuk struktur untuk diikuti.
2. Sistem politik di Indonesia
Menurut David Eston dalam A Systems Analysis of Political Life, mengatakan bahwa "Sistem Politik adalah keseluruhan dari interaksi-interaksi yang mengatur pembagian nilai-nilai secara autoritatif (berdasarkan wewenang) untuk dan atas nama masyarakat.
Ciri-ciri sistem (menurut Elias M Award) meliputi:
1. Terbuka
2. Terdiri dari dua atau lebih subsistem
3. Saling ketergantungan
4. Kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungannya
5. Kemampuan untuk mengatur diri sendiri
6. Tujuan dan Sasaran
Dengan ciri umum tersebut jelaslah bahwa inti dari sistem adalah berorientasi pada tujuan dan perilakunya. Secara umum, tujuan tersebut adalah menciptakan atau mencapai sesuatu yang berharga / bernilai.
Menurut David Eston dalam A Systems Analysis of Political Life, mengatakan bahwa "Sistem Politik adalah keseluruhan dari interaksi-interaksi yang mengatur pembagian nilai-nilai secara autoritatif (berdasarkan wewenang) untuk dan atas nama masyarakat.
Ciri-ciri sistem (menurut Elias M Award) meliputi:
1. Terbuka
2. Terdiri dari dua atau lebih subsistem
3. Saling ketergantungan
4. Kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungannya
5. Kemampuan untuk mengatur diri sendiri
6. Tujuan dan Sasaran
Dengan ciri umum tersebut jelaslah bahwa inti dari sistem adalah berorientasi pada tujuan dan perilakunya. Secara umum, tujuan tersebut adalah menciptakan atau mencapai sesuatu yang berharga / bernilai.
3. Peran partai politik
1. Peran Sebagai Wadah Penyalur Aspirasi Politik
Pada awal kemerdekaan,
partai politik belum berperan secara optimal sebagai wadah untuk
menyalurkan aspirasi politik rakyat. Hal ini terlihat dari timbulnya
berbagai gejolak dan ketidak puasan di sekelompok masyarakat yang merasa
aspirasinya tidak terwadahi dalam bentuk gerakan-gerakan separatis
seperti proklamasi Negara Islam oleh Kartosuwiryo tahun 1949,
terbentuknya negara negara boneka yang bernuansa kedaerahan.
Negara-negara boneka ini sengaja diciptakan oleh Belanda untuk memecah belah persatuan dan kesatuan.
Pada fase berikutnya dalam sejarah perjalanan bangsa yaitu masa Orde Lama,
peran organisasi politik sebagai wadah penyalur aspirasi politik rakyat
juga belum terlaksana sesuai dengan yang diharapkan. organisasi politik
cenderung terperangkap oleh kepentingan partai atau kelompoknya
masing-masing dan bukan kepentingan rakyat secara keseluruhan. Sebagai
akibat daripadanya adalah terjadinya ketidak stabilan sistem kehidupan
politik dan kemasyarakatan yang ditandai dengan berganti-gantinya
kabinet, organisasi politik tidak berfungsi dan politik dijadikan
panglima, aspirasi rakyat tidak tersalurkan akibatnya kebijaksanaan
politik yang dikeluarkan saat itu lebih bernuansa kepentingan politik
dari pada kepentingan ekonomi, rasa keadilan terusik dan ketidak puasan
semakin mengental, demokrasi hanya dijadikan jargon politik, tapi tidak
disertai dengan upaya memberdayakan pendidikan politik rakyat.
Di zaman pemerintahan Orde Baru,
peran organisasi politik dalam kehidupan berbangsa dicoba ditata
melalui UU No. 3 Tahun 1973, partai politik yang jumlahnya cukup banyak
di tata menjadi 3 kekuatan sosial politikyang terdiri dari 2 partai
politik yaitu PPP dan PDI serta 1 Golkar. Namun penataan partai politik
tersebut ternyata tidak membuat semakin berperannya partai politik
sebagai wadah penyalur aspirasi politik rakyat. organisasi politik yang
diharapkan dapat mewadahi aspirasi politik rakyat yang terkristal
menjadi kebijakan publik yang populis tidak terwujud. Hal ini terlihat
dari kebijaksanaan publik yang dihasilkan pada pemerintahan orde baru
ternyata kurang memperhatikan aspirasi politik rakyat dan cenderung
merupakan sarana legitimasi kepentingan penguasa dan kelompok tertentu.
Akibatnya pembangunan nasional bukan melakukan pemerataan dan
kesejahteraan namun menimbulkan ketimpangan dan kesenjangan sosial di
berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal ini
dikarenakan peran organisasi politik sebagai wadah penyalur aspirasi
politik rakyat oleh pemerintahan orde baru tidak ditempatkan sebagai
kekuatan politk bangsa tetapi hanya ditempatkan sebagai mesin politik
penguasa dan assesoris demokrasi untuk legitimasi kekuasaan semata.
Akibatnya peran partai politik sebagai wadah penyalur betul-betul
terbukti nyaris bersifat mandul dan hampir-hampir tak berfungsi.
Era reformasi
muncul sebagai gerakan korektif dan pelopor perubahan perubahan
mendasar di berbagai aspek kehidupan. Gerakan reformasi yang melahirkan
proses perubahan dan melengserkan pemerintahan orde baru dan melahirkan
UU No. 3 Tahun 1999 tentang partai politik memungkinkan sistem multi
partai kembali bermunculan. Harapan peran partai sebagai wadah penyalur
aspirasi politik akan semakin baik, meskipun hingga saat ini belum
menunjukkan kenyataan. Hal ini terlihat dari kampanye Pemilu yang masih
diwarnai banyaknya partai politik yang tidak mengaktualisasikan aspirasi
rakyat dalam wujud program partai yang akan diperjuangkan. Mirip dengan
fenomena lama dimana yang ada hanya janji dan slogan slogan kepentingan
politik sesaat. Meskipun rezim otoriter telah berakhir dan keran
demokrasi telah dibuka secara luas sejalan dengan bergulirnya proses
reformasi, namun terpenuhi secara maksimal. Aspirasi rakyat belum
tertangkap, terartikulasi, dan teragregasikan secara transparan dan
konsisten. Distorsi atas aspirasi, kepentingan, dan kekuasaan rakyat
masih sangat terasa dalam kehidupan politik, baik distorsi yang
datangnya dari elit politik, penyelenggara negara, pemerintah, maupun
kelompokkelompok kepentingan. Di lain pihak, institusi pemerintah dan
negara tidak jarang berada pada posisi yang seolah tidak berdaya
menghadapi kebebasan yang terkadang melebihi batas kepatutan dan bahkan
muncul kecenderungan yang mengarah anarchis walaupun polanya tidak
melembaga dan lebih banyak bersifat kontekstual.
2. Peran sebagai Sarana Sosialisasi Politik
Budaya
politik merupakan produk dari proses pendidikan atau sosialisasi
politik dalam sebuah masyarakat. Dengan sosialisasi politik, individu
dalam negara akan menerima norma, sistem keyakinan, dan nilai-nilai dari
generasi sebelumnya, yang dilakukan melalui berbagai tahap, dan
dilakukan oleh bermacam-macam agens, seperti keluarga, saudara, teman
bermain, sekolah (mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi),
lingkungan pekerjaan, dan tentu saja media massa, seperti radio, TV,
surat kabar, majalah, dan juga internet. Proses sosialisasi atau
pendidikan politik Indonesia tidak memberikan ruang yang cukup untuk
memunculkan masyarakat madani (civil society). Yaitu suatu masyarakat
yang mandiri, yang mampu mengisi ruang publik sehingga mampu membatasi
kekuasaan negara yang berlebihan. Masyarakat madani merupakan gambaran
tingkat partisipasi politik pada takaran yang maksimal. Dalam kaitan
ini, sedikitnya ada tiga alasan utama mengapa pendidikan politik dan
sosialisasi politik di Indonesia tidak memberi peluang yang cukup untuk
meningkatkan partisipasi politik masyarakat.
Pertama,
dalam masyarakat kita anak-anak tidak dididik untuk menjadi insan
mandiri. Anak-anak bahkan mengalami alienasi dalam politik keluarga.
Sejumlah keputusan penting dalam keluarga, termasuk keputusan tentang
nasib si anak, merupakan domain orang dewasa.
Kedua,
tingkat politisasi sebagian terbesar masyarakat kita sangat rendah. Di
kalangan keluarga miskin, petani, buruh, dan lain sebagainya, tidak
memiliki kesadaran politik yang tinggi, karena mereka lebih terpaku
kepada kehidupan ekonomi dari pada memikirkan segala sesuatu yang
bermakna politik..
Ketiga,
setiap individu yang berhubungan secara langsung dengan negara tidak
mempunyai alternatif lain kecuali mengikuti kehendak negara, termasuk
dalam hal pendidikan politik. Jika kita amati, pendidikan politik di
Indonesia lebih merupakan sebuah proses penanaman nilai-nilai dan
keyakinan yang diyakini oleh penguasa negara.
3. Peran sebagai Sarana Rekrutmen Politik
Peran
organisasi politik sebagai sarana rekruitmen politik dalam rangka
meningkatkan partisipasi politik masyarakat, adalah bagaimana partai
politik memiliki andil yang cukup besar dalam hal:
1) Menyiapkan kader-kader pimpinan politik
2) Selanjutnya melakukan seleksi terhadap kader-kader yang dipersiapkan
3) Perjuangan
untuk penempatan kader yang berkualitas, berdedikasi, memiliki
kredibilitas yang tinggi, serta mendapat dukungan dari masyarakat pada
jabatan jabatan politik yang bersifat strategis.
Rekrutmen
politik yang adil, transparan, dan demokratis pada dasarnya adalah
untuk memilih orang-orang yang berkualitas dan mampu memperjuangkan
nasib rakyat banyak untuk mensejahterakan dan menjamin kenyamanan dan
keamanan hidup bagi setiap warga negara. Kesalahan dalam pemilihan kader
yang duduk dalam jabatan strategis bisa menjauhkan arah perjuangan dari
cita-rasa kemakmuran, kesejahteraan, dan keadilan bagi masyarakat luas.
Oleh karena itulah tidaklah berlebihan bilamana dikatakan bahwa
rekrutmen politik mengandung implikasi pada pembentukan cara berpikir,
bertindak dan berperilaku setiap warga negara yang taat, patuh terhadap
hak dan kewajiban, namun penuh dengan suasana demokrasi dan keterbukaan
bertanggung jawab terhadap persatuan dan kesatuan bangsa dalam wadah
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun bila dikaji secara sekilas
sampai dengan saat inipun proses rekrutmen politik belum berjalan secara
terbuka, transparan, dan demokratis yang berakibat pemilihan kader
menjadi tidak obyektif. Proses penyiapan kader juga terkesan tidak
sistematik dan tidak berkesinambungan. organisasi politik dalam
melakukan pembinaan terhadap kadernya lebih inten hanya pada saat
menjelang adanya event-event politik; seperti konggres partai, pemilihan
umum, dan sidang MPR. Peran rekrutmen politik masih lebih didominasi
oleh kekuatan-kekuatan di luar partai politik. Dalam kondisi seperti
itu, tentu saja pembinaan, penyiapan, dan seleksi kader-kader politik
sangat boleh jadi tidak berjalan secara memadai.
4. Peran sebagai Sarana Pengatur Konflik
Yang
dimaksud dengan konflik atau pertentangan mengandung suatu pengertian
tingkah laku yang lebih luas dari apa yang biasanya dibayangkan oleh
kebanyakan orang. Secara umum kita sering beranggapan bahwa konflik
mengandung benih dan didasarkan pada pertentangan yang bersifat kasar
dan keras. Namun sesungguhnya, dasar dari konflik adalah berbeda-beda,
yang secara sederhana dapat dikenali tiga elemen dasar yang merupakan
ciri-ciri dari situasi konflik yaitu:
1) Terdapatnya dua atau lebih unit-unit atau bagian-bagian yang terlibat dalam suatu konflik.
2) Unit-unit
tersebut, mempunyai perbedaan-perbedaan yang tajam dalam
kebutuhan-kebutuhan, tujuan-tujuan, masalah-masalah, nilai-nilai,
sikap-sikap, maupun gagasan-gagasan
3) Terjadi atau terdapat interaksi antara unit-unit atau bagian-bagian yang terlibat dalam sebuah konflik.
Konflik
merupakan suatu tingkah laku yang tidak selalu sama atau identik dengan
emosi-emosi tertentu yang sering dihubungkan dan/ atau dikaitkan
dengannya, seperti rasa kebencian atau permusuhan. Konflik dapat terjadi
pada lingkungan yang paling kecil yaitu individu, sampai kepada
lingkungan yang luas yaitu masyarakat. Pada taraf masyarakat, konflik
bersumber pada perbedaan diantara nilai-nilai dan normanorma kelompok
dengan nilai-nilai dan norma-norma di mana kelompok tersebut berada.
Demikian pula konflik dan bersumber dari perbedaan-perbedaan dalam
tujuan, nilai dan norma, serta minat yang disebabkan karena adanya
perbedaan pengalaman hidup dan sumber-sumber sosial ekonomis di dalam
suatu kebudayaan tertentu dengan yang ada dalam kebudayaan-kebudayaan
lain.
Dalam
menjalankan peran sebagai pengatur konflik ini, partai-partai politik
harus benar-benar mengakar dihati rakyat banyak, peka terhadap bisikan
hati nurani masyarakat serta peka terhadap tuntutan kebutuhan rakyat.
Dengan munculnya partai partai baru tentu saja persyaratan mengakar di
hati rakyat belum bisa terpenuhi dan bahkan boleh dikatakan masih jauh
dari harapan. Sedangkan organisasi politik yang lamapun belum tentu
telah memiliki akar yang kuat di hati rakyat, mengingat partisipasi
politik rakyat masih lebih banyak bersifat semu. Artinya rakyat baru
memiliki partisipasi yang nyata adalah pada saat pelaksanaan pemilihan
umum, sementara pada proses-proses pembuatan keputusan politik, dan
kontrol terhadap pelaksanaan kebijakan politik masih tergolong dalam
kategori yang relatif rendah. Meskipun akhir-akhir ini banyak
demonstrasi dan kebebasan media massa sangat luas, batasan terhadap
akses informasi makin lunak; namun bila dikaji substansi yang dituntut
dan disampaikan masih lebih banyak didasarkan pada rekayasa kelompok
politik atau elit politik tertentu. Belum cukup marak tuntutan dan
suara-suara yang memperjuangkan kepentingan rakyat banyak.
5. Faktor-faktor Pendukung dan Penghambat Terhadap Organisasi Politik dalam Peningkatan Partisipasi politik Masyarakat
Faktor-faktor
pendukung bagi penguatan peran organisasi dalam peningkatan partisipasi
politik masyarakat antara lain yang terpenting adalah:
1) Masih
diterimanya Pancasila serta pembukaan UUD 1945 dan keinginan untuk
mengamandemen UUD 1945 merupakan wujud kesadaran berpolitik yang berakar
kepada demokratisasi.
2) Masih berjalan dan kuatnya struktur politik dengan semakin mantapnya kearah demokratisasi.
3) Makin
tingginya kesadaran politik masyarakat, ditunjukkan dengan pelaksanaan
pemilu yang berlangsung aman, langsung, umum, bebas dan rahasia.
4) Masih tingginya atensi politik terhadap penyelenggaraan kepemimpinan nasional, menunjukkan sikap mengarah kedewasaan berpolitik.
Faktor-faktor
penghambat bagi penguatan organisasi partai politik dalam peningkatan
partisipasi politik masyarakat antara lain yang terpenting adalah:
1) Masih
kurang ditaatinya peraturan, perundangan tentang mengeluarkan pendapat
dan berkumpul serta masih diragukannya RUU KKN walaupun sudah diperbaiki
dan disempurnakan.
2) Kurangnya
dilaksanakan dalam sikap dan tindakan yang lebih mengutamakan
kepentingna nasional, dapat mengakibatkan melesetnya arah ketujuan
nasional.
3) Proses demokrasi dengan organisasi yang sangat banyak dapat memungkinkan lambatnya proses politik.
4) Masih
adanya ide sparatis yang justru timbul pada saat situasi politik dan
ekonomi lemah, serta dihadapkannya TNI dan Polri dalam front politik serta keamanan yang sangat luas.
Sumber :
http://pikiranqoe.blogspot.com/2012/03/tugas-ibd-organisasi-politik.html
id.wikipedia.org/wiki/Organisasi_politik
s
0 komentar
Berkomentarlah dengan Bahasa yang Relevan dan Sopan.. #ThinkHIGH! ^_^